TRADISI PANTAUAN BUNTING
Pantauan Bunting merupaka adat yang akan dijumpai jika terdapat orang yang akan ngagokkah atau melaksanakan pesta pernikahan. Pada saat melaksanakan pesta pernikahan baik saat akad maupun resepsi dan ngunduh mantu. Terdapat tradisi warisan budaya yang masih mengakar sampai saat ini. Pengantin akan diajak keliling kampung bersama dengan rombongan Karang Taruna. Pada saat pelaksanaan pesta pernikahan biasanya diadakan dua hari, hari “Nyembelih” dan hari “Jadie”. Pada hari pertama atau hari Nyembelih akan diadakan adat istiadat yang masih sering dipakai yaitu Pantauan Bunting. Pantauan Bunting adalah Pengantin akan diajak keliling kampung bersama dengan rombongan Karang Taruna. Dalam hal ini pengantin akan menaiki satu persatu rumah warga untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan warga. Jadi, jika dirumah tempat ngagokkah ada hidangan-hidangan untuk para tamu maka disetiap rumah warga akan ada juga hidangan-hidangan yang tak kalah lezat dan spesial untuk pengantin. Hidangan yang disajikan pun bukan sembarang hidangan, melainkan makanan-makanan khas seperti Rendang, Ayam Nanas, Tumis Buncis Ati Ampela, dan Ikan Bumbu Kacang Asam Manis. Untuk pendampingnya juga biasanya dihidangkan camilan seperti Peyek Kacang, Keripik Pisang, Kembang Goyang , dan masih banyak lagi. Minumannya juga tak kalah lezat, ada Cendol, Es Buah, Teh, Kopi, ataupun air putih. Dalam tradisi ini, selain karang taruna ada juga Bujang dan Gadis Ngantat yang bertugas ikut kemana saja pengantin serta menyiapkan segala keperluan pengantin, seperti membalik sandal pengantin, mengambilkan makanan, dan membenahi make-up pengantin wanita jika sudah belepotan. Dimana Bujang Ngantat bertugas membantu pengantin pria dan Gadis Ngantat bertugas membantu pengantin wanita. Dalam rombongan pun terdapat satu orang yang biasa disebut sebagai “Penunde”, yaitu orang yang akan menentukan rute perjalanan. Biasanya yang menjadi Penunde ini adalah anggota senior dari karang taruna yang sudah berpengalaman dalam mengikuti tradisi Pantauan ini. Penunde ini akan menjadi pemimpin perjalanan. Kadang ia harus siap beradu argument dengan ibu-ibu yang menginginkan rumahnya dinaiki terlebih dahulu padahal tidak sesuai rute. Uniknya pada tradisi Pantauan tersebut biasanya pengantin dilarang lewat di bawah “Kemuhu”, yaitu bambu yang biasa dipakai untuk menjemur baju. Menurut kepercayaan masyarakat setempat hal tersebut akan membuat rumah tangga yang terjalin nantinya akan kurang harmonis. Setelah melakukan adat ini biasanya pengantin beserta rombongan akan mandi di sungai, hal ini dilakukan sebagai healing setelah lelahnya berkeliling kampung, kemudian dilanjutkan dengan acara akad nikah bagi pengantin yang belum melaksanakan akad nikah di pagi hari. Ataupun bersiap-siap untuk mengadakan resepsi jika hari “Jadie” dilaksanakan pada malam hari. Namun dijaman sekarang banyak yang lebih memilih melaksanakan hari “jadie” tersebut pada keesokan harinya.