Jembatan Ampera
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang
Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang,
tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun
1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk
merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika
Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi. Pada masa
kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang
kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan
merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya pada sidang pleno yang berlangsung
pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang
ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00.
Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa
Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera
Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan
Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung
rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota
Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan
hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan
ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16
Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan
syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan
itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan
penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD
4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari
pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi hingga akhir tahun 1970-an,
warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi ini mulai dibangun
April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Jembatan dengan konstruksi baja yang
diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter.
Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara
setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian
bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang
naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Saat bentang diangkat,
ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran
tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan
seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton
di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik namun hanya berfungsi
hingga tahun 1970 saja, alasannya waktu yang
digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di
atasnya.
Selama berada di jembatan Ampera banyak hal yang bisa dilakukan misalnya,
1. Berfoto dengan latar belakang pilar jembatan ampera dan sekelilingnya termasuk sungai musi dan pemandangan kota Palembang
2. Spot menikmati matahari terbit dan terbenam setiap hari
Yang dapat dilihat selama berada di jembatan Ampera adalah :
1. Hamparan sungai musi yang terbentang panjang dan luas
2. Pemandangan tepian sungai musi yang berdiri ribuan bangunan rumah tradisional dan modern
3. Landscape jembatan musi IV dan musi VI yang indah di malam hari
Tidak ada lokasi souvenir shop atau pun kuliner di lokasi ini karena hanya diperbolehkan untuk pejalan kaki disepanjang trotoar jembatan
Bagi pengunjung yang ingin melihat dari dekat jembatan Ampera maka disarankan untuk memarkirkan kendaraannya dari bawah jembatan atau parkiran BKB agar mudah menuju atas jembatan Ampera untuk menikmati sensasi berdiri di jembatan ikonik kebanggan wong kito galo