PROSESI ADAT SEDEKAH SEDULANG SETUDUNG
SEDEKAH SEDULANG SETUDUNG
Adat Sedulang Setudung adalah acara adat yang
dilestarikan masyarakat Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin terutama di Desa
Gelebak Dalam, Desa Sako, Desa Pangkalan, Desa Sungai Duo dan desa-desa perbatasan
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Kisah adat ini muncul
sekitar tahun 1940-an di Desa Gelebek Dalam. Waktu itu para nenek moyang
memikirkan kebiasaan masyarakat yang mengadakan persedekahan setiap hari-hari
besar Islam seperti Isro’ Mikraj, Nuzul Quran, Lebaran Idul Fitri dan Idul
Adha. Jika sedekahan itu dilaksanakan di rumah masing-masing tentunya sedikit
berat. Makanya orang-orang dahulu menciptakan adat Sedulang Setudung agar semua
warga apakah dia kaya atau miskin bisa melaksanakan sedekah hari-hari Islam
secara rutin dan bersamasama di masjid.
Untuk melaksanakan sedekah bersama yang disebut adat Sedulang Setudung itu setiap kepala keluarga membawa dulang (sejenis nampan bulat yang terbuat dari kayu) yang ditutup tudung berwarna sama yaitu warna biru sehingga tidak diketahui apakah dulang itu dibawa oleh orang kaya (sugih) atau miskin (pisit).
Dalam acara adat ini setiap kepala keluarga
membawa satu dulang diisi makanan dan dibawa ke masjid dengancara dijunjung di
atas kepala yang nantinya setelah diadakan acara, makanan ini dimakan bersama.
Dulang dalam adat ini selalu ditutup dengan tudung berwarna sama.
Dalam tradisi ini tudung tersebut disebut
Setudung. Oleh karena itu adat ini disebut Sedulang Setudung. Makanan apa saja
yang dibawa dalam dulang juga tidak diketahui masyarakat secara terbuka karena
saat dibawa ke masjid makanan yang dibawa warga dalam dulang tertutup rapat
oleh tudung yang sama warnanya. Karena itu dalam adat ini warga dipersilahkan
membawa makanan sesuai kemampuan masing-masing. Namun secara umum isi dulang
biasanya terdiri dari nasi gemuk, ayam panggang dan hasil bumi seperti pisang,
kelengkeng, duku, durian dan lain-lain.
Dahulu pernah ada gagasan untuk merubah wadah
membawa makanan ke masjid pada setiap acara Adat Sedulang Setudung menggunakan
rantang bertingkat karena membawa makanan dengan dulang dianggap terlalu berat.
Usulan itu ditolak perangkat pemerintahan,desa karena jika tidak menggunakan
dulang lagi sebaiknya sedekahnya diadakan di rumah masing-masing karena bukan
lagi bernama sedekah Sedulang Setudung. Oleh karena masyarakat,tetap
menginginkan sedekah bersama dengan sebutan Sedulang Setudung maka adat ini
tetap diteruskan menggunakan dulang yang ditutup tudung berwarna sama seperti
gagasan, awal nenek moyang warga.
Selain semua masyarakat bisa mengikuti
sedekah dengan biaya ringan, orang kaya atau miskin, tetap bisa bersedekah pada
hari-hari besar Islam melalui adat Sedulang Setudung.
Ibu-ibu desa juga tidak terlalu direpotkan
bila ingin memasak untuk sedekah hari-hari besar Islam di masjid. Jika sedekah
di rumah masing-masing, tentunya persiapan yang dilakukan ibu-ibu akan lebih
berat dan membutuhkan banyak biaya. Sebaliknya jika menyediakan makanan satu
dulang saja untuk dibawake masjid, tidak terlalu menyulitkan seorang ibu rumah
tangga untuk mengadakannya.
Adat Sedulang Setudung juga bermanfaat
mempererat silaturahmi. Orang per orang ketika Lebaran Idul Fitri atau Idul
Adha misalnya, bisa saja merasa sungkan mendatangi rumah warga yang posisi
rumahnya di ujung desa. Selain itu mungkin, tidak semua orang mempunyai waktu
yang cukup untuk bisa mendatangi setiap persedekahan di rumah masing-masing
warga desa. Maka dengan sama-sama menghadiri adat ini, semua orang secara
ikhlas akan mengusahakan pergi ke rumah Allah (masjid) menghadiri acara Adat
Sedulang Setudung itu cukup menyediakan satu waktu saja untuk bisa
bersilaturahmi, bersedekah bersama, dan makan bersama-sama serta saling
maaf-memaafkan pada saat Lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha.
Tempat duduk acara Adat Sedulang Setudung di
masjid desa juga diadakan menurut syariat Islam, atau dibedakan antara tempat
pria dan wanita. Khusus pada hari Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha acara
Sedulang Setudung dilakukan setelah Solat ied. Warga setelah Solat ied pulang
dulu ke rumah masing-masing mengambil dulang yang sudah disiapkan baru pergi
lagi ke masjid.
Susunan acara sedekah Sedulang Setudung
umumnya diawali sambutan kepala desa, lalu sambutan panitia pelaksana (panitia
pembangunan masjid), dan pembacaan doa oleh tokoh agama, kemudian makan bersama
dari hidangan dulang yang sudah disusun di dalam masjid.
Sambutan yang disampaikan kepala desa umumnya
mengenai hal-hal yang dicapai dan rencana masa depan desa. Sedangkan sambutan
ketua panitia pembangunan masjid biasanya mengumumkan kelompok warga yang
selama ini menghimpun dana peningkatan pembangunan masjid seperti di Desa
Gelebak Dalam terdapat 28 kelompok. Setiap anggota kelompok mengumpulkan uang
sukarela. Pada acara Sedulang Setudung nama-nama penyumbang dan jumlah uang
setiap kelompok itu diumumkan. Sementara pembacaan doa dibawakan oleh khatib
atau P3N untuk mendoakan arwah para orang tua, memohon keselamatan bagi
keluarga, keselamatan desa dari bencana dan kemakmuran setiap warga masyarakat
desa untuk setahun ke depan. Setelah doa selesai, seluruh masyarakat baik tua
maupun muda bersama-sama makan makanan yang dibawa warga menggunakan dulang
yang jumlahnya bisa mencapai ratusan dulang. Setelah makan bersama selesai,
seluruh masyarakat yang mengikuti Adat Sedulang Setudung ini berjabatan tangan
saling maaf-memaafkan, baru kemudian pulang ke rumah masing-masing.
(Sumber: Ajmal
Rokian. 2014. Sejarah, Khasanah Budaya,
dan Profil Potensi Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Balai: Disparsenpor).